Veronica Koman
Oleh Veronica Koman
SELAGI kita berduka atas hilangnya belasan nyawa di kabupaten Nduga Papua baru-baru ini, kita sebaiknya juga memikirkan tentang ribuan nyawa lain yang telah hilang sejak konflik dimulai di wilayah ini. Kita seharusnya bertanya mengapa konflik ini menjadi salah satu perjuangan terlama di dunia serta hal apa yang bisa mengakhirinya.
Pada tanggal 13 Desember, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI menyatakan dukungannya untuk “operasi militer selain perang” di Papua. Rakyat Papua sudah menderita di bawah setidaknya 16 operasi militer resmi sejak 1961. Penambahan operasi militer hanya akan memperdalam luka Papua dan membuat solusi damai semakin sulit dicapai.
Dari seluruh operasi militer sebelumnya di Papua, korban terbanyak adalah sipil. Selain itu, impunitas militer dan sistem hukum yang lemah berarti tidak akan pernah ada akuntabilitas atas jatuhnya korban sipil ini. Sebagai langkah pertama untuk keadilan, daripada mengirim tambahan tentara, tim independen dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lah yang seharusnya diterjunkan untuk investigasi fakta yang saling bertentangan di Nduga.
Terdapat gerakan yang kuat untuk solusi damai atas konflik Papua melalui pelaksanaan hak atas penentuan nasib sendiri. Gerakan tanpa kekerasan ini tumbuh dengan cepat dan tidak hanya di dalam Papua. Ribuan orang, Papua dan non-Papua, telah berpartisipasi dalam pertemuan, diskusi publik, dan demonstrasi damai di puluhan kota di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Dari 537 orang yang ditangkap karena demonstrasi damai pada 1 Desember saja, 185 di antaranya adalah non-Papua.
Apabila pejuang kemerdekaan (freedom fighters) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Nduga tertangkap atau terbunuh dalam operasi militer, kita sudah bisa memperkirakan bahwa akan ada yang menggantikan mereka. Kaum muda Papua anggota dari organisasi-organisasi non-kekerasan menunjukkan dukungan yang luar biasa untuk TPNPB. Bagi mereka, pejuang kemerdekaan TPNPB adalah tetua yang mengorbankan segala-galanya. Menghancurkan TPNPB di Nduga tidak akan menyelesaikan konflik di Papua; hal tersebut justru akan menimbulkan kemarahan luar biasa dan meradikalisasi sayap non-kekerasan dari gerakan Papua.
Fenomena yang sama juga berlaku untuk taktik represif yang digunakan terhadap gerakan non-kekerasan.
Para aktivis non-kekerasan di daerah perkotaan Papua telah menjadi korban penangkapan ilegal, pengawasan yang melecehkan, perusakan properti secara sewenang-wenang, dan berbagai jenis gangguan lainnya. Cukup banyak di antara mereka yang memberitahu pengacara mereka, termasuk saya, bahwa represi ini membuat mereka merasa bahwa tidak ada lagi ruang untuk aksi damai di daerah perkotaan dan bahwa akan lebih baik untuk langsung angkat senjata bersama TPNPB di hutan.
Para mahasiswa Papua di Jawa menghadapi represi tambahan dari kelompok milisi sipil yang mengancam mereka dengan kekerasan tanpa perlu khawatir akan ditangkap. Beberapa dari para mahasiswa ini memberitahu saya bahwa apabila mereka harus bertarung dengan milisi preman yang hendak menindas kebebasan berbicara mereka, maka mereka lebih baik sekalian bertempur dengan militer Indonesia dengan bergabung bersama TPNPB.
Asal-usul dari TPNPB menunjukkan bahwa orang Papua telah sejak lama berjuang untuk tetap berdiri sendiri. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, rakyat Papua di Biak telah mendeklarasikan kemerdekaan. Pada tahun 1965 hingga menjelang “penentuan pendapat rakyat” yang cacat fatal pada 1969, puluhan ribu anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah menolak kehadiran Indonesia. Sejarah ini menggambarkan bahwa pada kenyataannya, para pejuang kemerdekaan TPNPB yang ada hari ini hanya sedang melanjutkan “perang pembebasan nasional” (war of national liberation) mereka yang sudah berlangsung sejak lama.
Hukum humaniter internasional mengakui mereka sebagai kombatan dan bukannya, seperti pemerintah lebih suka menyebut mereka, sebagai anggota dari “kelompok kriminal bersenjata” (KKB). Perang pembebasan nasional diatur dalam Protokol Tambahan I dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Meskipun Indonesia belum menandatangani protokol tersebut, kombatan dari kedua belah pihak harus tetap menghormati hukum humaniter internasional dasar sebagai hukum kebiasaan internasional ketika konflik bersenjata..
Hingga Presiden Joko “Jokowi” Widodo memenuhi janjinya yang telah lama terabaikan untuk membuka akses Papua bagi jurnalis asing, dunia luar akan menangis. Diskursus yang bebas dalam negerijuga terancam: kepolisian mengancam seorang legislator Papua dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang ‘draconian’ setelah ia bicara tentang enam orang sipil yang diduga terbunuh dalam operasi gabungan aparat keamanan di Nduga.
Sejak tahun lalu aparat keamanan telah melakukan ancaman serupa terhadap baik sipil biasa maupun para pembela HAM yang memantau operasi militer maupun kepolisian di wilayah Papua yang terpencil. Setiap versi yang berbeda dari versi aparat yang bias akan dicap sebagai “hoaks”.
Kita harus segera menyelesaikan konflik di Papua sekali dan untuk selamanya. Pemerintah salah dalam meyakini bahwa program infrastruktur akan mampu menenteramkan keinginan Papua untuk menentukan nasib sendiri yang tak kunjung hilang sejak dulu. Seperti yang sudah diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akar konflik adalah integrasi Papua ke Indonesia yang dipaksakan. Para anggota parlemen Indonesia sebaiknya mengakui kenyataan ini.
Sebagai anggota baru dari Dewan Keamanan PBB, prioritas utama Indonesia yang begitu mulia adalah memperjuangkan hak atas penentuan nasib sendiri rakyat Palestina. Seharusnya untuk secara demokratis menanggapi permintaan fundamental yang sama dari rakyat Papua juga dijadikan sebagai prioritas. (*)
Penulis adalah pengacara Hak Asasi Manusia yang membela ratusan mahasiswa Papua dalam aksi 1 Desember 2018.